Sebagai makhluk hidup sudah barang tentu harus mengikuti sunatullah,
sebagai tuntunan dalam mengarungi hidup yang penuh perjuangan. Tuntunan itu
berupa ajaran agama, yang berupa perintah dan larangan, sehingga setiap diri
terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Sunatullah yang berlaku bagi umat manusia adalah tali perkawinan. Ikatan
dua hati antara dua makhluk hidup yang berlainan jenis, perempuan dan lelaki,
yang membentuk sebuah keluarga, yang sudah barang tentu sebuah keluarga yang
mawaddah warohmah, penuh siraman kasih sayang dan ridho illahi robbi.
Bahtera rumah tangga yang direncanakan tentunya sebuah rumah tangga yang
bahagia, aman dan tentram, yang diliputi keberkahan, cinta kasih, rasa saling
memliki, rasa saling menjaga perasaan pasangan, rasa saling menghormati, dan
sebagianya.
Jika sang ‘nakhoda’ piawai dalam mengemudikan perahu layarnya, niscaya
penumpangnya akan selamat sampai tujuan, namun bila sang ‘nakhoda’ tidak
piawai, kemungkinan karam atau kandas bisa terjadi, maka kehati-hatian dalam
mengemudikan kapalnya sang ‘nakhoda’ wajib mengetahui dan memahami rambu-rambu,
seperti tutur kata yang baik dan santun, bijak, jujur, setia, dan sebagainya.
Suami yang menjadi kepala rumah tangga bisa disebut sebagai direktur,
sdangkan isteri bisa disebut sebagai ‘bendahara’ atau ‘menteri keuangan’ dalam
sebuah lembaga kenegaraan. Sebagai ‘menteri keuangan’, isteri harus bijak
mengatur pengeluaran atau belanja dari uang yang diserahkan oleh suami, agar
manfaat yang maksimal bisa diperoleh. Harga barang yang melonjak isteri harus
melaporkannya kepada ‘sang komandan’ atau murahnya harga barang yang diperoleh,
suami juga perlu mengetahuinya. Pokoknya segala aktivitas apapun harus melalui
musyawarah dan mufakat. Jangan sebagai isteri melakukan pengeluaran tanpa
memberitahukan atau melaporkan keapada suaminya; apalagi ketika uang itu akan
diberikan ke ‘pihak lain’ (adik, kakak maupun orangtua), supaya terhindar dari
percekcokan.
Suami di rumah ketika pulang dari bekerja mendapatkan isterinya bermuka
masam atau tidak menegur dengan sepatah katapun, akan berakibat suami tanda
tanya, ada apa gerangan dengan isteriku tercinta?
Itulah sekilas peristiwa dalam keluarga, yang akan dibahas lebih dalam
uraian selanjutnya.
Mempersiapkan Diri Sebelum Perkawinan
Ketika diri akan menikah dengan calon pasangan yang diidamkan, adakah kita
mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk menyongsong hari yang sangat penting
dalam hidup kita? Mungkinkah melakukan persiapan itu penting? Lalu, persiapan
apa saja yang harus kita lakukan?
Sangat sederhana dan tidak rumit, kalau kita memang menganggap perlu
segala sesuatunya guna menyongsong ‘hari bahagia’ itu. Bagi pasangan yang
menginginkan melakukan persiapan, penulis memberi tips atau resep yang
dimaksud.
Itulah tiga tips yang dapat dimanfaatkan pleh setiap calon pasangan yang
hendak menikah, agar setelah mengetahui tiga hal penting ini, segera dapat mewujudkannya
dalam setiap tindakan yang akan diambil.
Mencita-citakan Hidup Rumah Tangga yang
Harmonis
Setiap insan yang mengikuti sunatullah, yakni menikah secara aturan agama
dan norma umum, pasti menginginkan kehidupan rumah tangganya harmonis. Hanya
saja cara masing-masing orang melakukannya memiliki kiat-kiat tersendiri.
Kemudian ada yang mengidam-idamkan mempunyai rumah sendiri dan dari hasil
keringat sendiri, begitu juga ada yang berharap dapat memiliki sebuah villa
yang mewah nan megah. Begitu banyak harapan-harapan dari setiap insan dalam
mengarungi bahtera rumah tangga, bila kelak sudah berkeluarga.
Rumah tangga yang harmonis harus dijalin dengan komunikasi timbal balik,
saling memberikan yang terbaik bagi pasangannya, seperti saling mencintai,
saling menyayamgi, saling menghargai, saling memberi dan menerima; setia,
jujur, menjaga kehormatan diri dan pasangan, dan sebagainya.
Seorang isteri ingin dihargai dalam mengajukan pendapatnya, sesuai juga
dengan keinginan suami yang ingin dihargai pendapatnya oleh sang isteri.
Mendengar semua perkataan isteri akan apa yang dimaksud, dan jangan memotong
sebelum kalimatnya selesai atau habis, begitupun suami sebaliknya. Mendengar
barang sejenak tak ada salahnya, agar pasangan kita tidak timbul emosi. Jagalah
perasaan pasangan kita, kendati ada keinginan yang juga perlu di dengar;
biarkan yang diungkapkan itu dapat ditangkap maknanya. Namun, seandainya tidak
dimenegerti, tanyakan apa maksud perkataannya.
Jika semua hal itu dilakukan dengan perasaan ‘legowo’ atau ikhlas,
niscaya akan damai-damai saja. Niat yang baik serta didukung dengan keikhlasan,
memiliki arti yang sangat penting dalam menjalin kasih sayang antar pasangan.
Jika keikhlasan senantiasa tertanam dalam hidup kita, niscaya amalan itu akan
berbuah atau bernilai ibadah.
Memahami Calon Pasangan/Pasangan
Sebelum menikah, ada baiknya mempelajari watak atau karakter calon
pasangan, begitupun setelah menikah, tak ada salahnya memahami pasangan, apa
yang diinginkan oleh pasangan kita, tak perlu berhenti untu memahaminya.
Ketika berpacaran, sesungguhnya disinilah kesempatan kita untuk
mengetahui latar belakang dirinya, juga latar belakang keluarganya. Belajar,
belajar dan belajar, belajar memahami lingkungan keluarganya, sifat-sifat buruk
dan sifat-sifat baik yang melekat pada dirinya. Beruntung bila kita menemui
banyak sifat-sifat baik, akan tetapi seandainya kita mengetahui sifat-sifat
buruknya, tak ada salahnya kita berusaha untuk mengantisipasi dan berusaha
memberitahukan perilaku buruknya, dengan memohon untuk merubahnya, agar tidak
merugikan diri sendiri dan juga orang lain.
Kepribadian seorang lelaki jelas berbeda dengan kepribadian seorang
wanita.
Mengenal karakter wanita menurut As-Sunnah adalah seperti yang disebutkan:
??????
Perbedaan yang ada jangan dijadikan penghalang atau penghambat hubungan
kasih asamara, sepanjang itu bukan perbedaan dalam hal keyakinan atau agama
yang dianut oleh masing-masing pihak. Dalam hal ini tentu akan membawa
konsekuensi yang cukup rumit atau sulit untuk dipecahkan, terutama menyanglkut
pembagian hak waris, hak perwalian anak serta hak asuh atas anak.
Kalau Cuma perbedaan penghasilan, itu hal yang lumrah, karena biasanya
pihak lelaki itu lebih besar penghasilannya, namun di pihak perempuan pun ada
yang memiliki kemampuan ekonomi yang tak terbatas, seperti wanita karier pada
umumnya.
Intinya memahami pasangan dengan kondisi yang ada, bukanlah yang harus
dijadikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan, jika itu dutempuh dengan
jalan musyawarah, niscaya akan ditemui kesamaan pandangan.
Memahami calon pasangan dari sisi yang lain adalah dengan cara mengetahui
latar belakang keluarganya atau lingkungan teman-temannya
Dalam tradisi masyarakat Jawa berlaku ketentuan bahwa pertalian jodoh dilihat
dari tiga aspek, yakni aspek ‘Bibit’ (Keturunan), aspek ‘Bebet’
(Kecderdasan/keilmuan) dan aspek ‘Bobot’ (Kekayaan). Namun dalam Islam hal ini
tentu tidak demikian, karena yang ada adalah dilihat dari aspek ‘Keimanan’ atau
‘Keagamaan’ bukan aspek kedudukan, kepangkatan atau apalagi aspek kecantikan
atau ketampanan (kesemuanya ini termasuk unsur keduniaan).
Mengungkapkan Perasaan
Ketika seseorang sedang jatuh cinta, bunga-bunga seperti bermekaran
mengitari dirinya; apalagi tatkala sang kekasih ada disampingnya, betapa senang
hatinya. Hidupnya penuh bunga. Namun ia tak dapat mengungkapkan perasaannya
terhadap kekasihnya itu, karena rasa gugup dan atau kurang percaya diri yang
seharusnya tidak terjadi. Mengungkapkan perasaan kepada kekasih diperlukan keberanian,
kalau cinta itu sudah ada di dalam hatinya. Bukan hanya dipendam.
Hal sekecil ini mestinya dapat dilalui dengan aman, tanpa kendala apapun.
Masa harus orang lain yang menyampaikan isi hati kita. Lucu bukan !
Ketika gayung bersambut maka komunikasi pun terus berlanjut. Cinta pun
melekat di hati. Sang kekasih tak kan pergi.
Abu Hurairah z berkata, “Sungguh Rasulullah n pernah bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri) karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan sungguh tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Bila engkau berupaya meluruskannya, engkau akan mematahkannya[4]. Namun bila engkau biarkan ia akan terus-menerus bengkok, maka berwasiatlah dengan kebaikan kepada para wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)
Dalam satu riwayat Al-Imam Al-Bukhari (no. 5184):
الْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ، إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا
وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Wanita itu seperti
tulang rusuk, jika engkau meluruskannya engkau akan mematahkannya. Jika engkau
bernikmat-nikmat dengannya engkau bisa melakukannya, namun padanya ada
kebengkokan.”
Dalam satu riwayat Al-Imam Muslim (no. 3631):
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، لَنْ
تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقٍ، فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ
بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ، وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا
طَلاَقُهَا
“Sesungguhnya wanita
itu diciptakan dari tulang rusuk sehingga ia tidak akan terus-menerus lurus
kepadamu di atas satu jalan. Jika engkau bernikmat-nikmat dengannya engkau bisa
melakukannya, namun padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa meluruskannya
engkau akan mematahkannya. Dan patahnya adalah talaknya.” [5]
Melamar Pujaan Hati
Sebelum janur melengkung si ‘dia’ pun boleh dimiliki oleh orang lain.
Untuk itulah jika kita telah mantap menentukan pilihan hati kita, maka segerah
meminang si ‘dia’, agar tidak berpindah ke lain hati. Kabarkanlah kepada ke
kedua orang tua kita untuk menyampaikan maksud hati kita bahwa kita telah
mempunyai pujaan hati nun jauh disana (tapi dekat di hati) atau mungkin dekat
di mata untuk melamar dan menjadi isteri kita. Bagi perempuan, sudah tentu
menyampaikan maksud hati adalah memohon kepada kedua orangtua untuk segera
mendesak pihak ‘lelaki’ agar melamar diri kita dan menjadikan pujaan hati
sebagai suami terkasih.
Dalam hal ini Al-Haidts menjelaskan:
Ketika melangkah ke dalam masalah ini, ada baiknya membicarakan tata cara
perhelatan pernikahan antar keluarga, agar dapat tercapainya suatu kesepakatan
dan kebersamaan dalam hal penyelenggaraan pesta pernikahan nantinya. Faktor
perbedaan adat istiadat akan dapat dipertemukan dalam satu kesempatan
musyawarah antar keluarga, yakni keluarga mempelai pria dan keluarga mempeleai
wanita.
Adat istiadat orang Jawa jelas berbeda dengan adat istiadat orang
Sumatera; apalagi adat istiadat orang Kalimantan, Sulawesi dan Irian.
Terima kasih motivasinya ustadz..
BalasHapus